Showing posts with label Jawa Barat. Show all posts
Showing posts with label Jawa Barat. Show all posts

In Jabodetabek Jawa Barat Travel

Culture Trip to Pulo Geulis

Some months ago, in the begining of this year, we have celebrated Lunar New Year. We've got one day free and got our holiday. I spent that holiday with Ka Ares, Monica, Juwita, and Afry. Respected the Lunar New Year, we went to some Klentengs in Bogor. We've got new knowledge about Chinese culture and history. One of Klenteng where we visited is Klenteng Pan Kho Bio or (Vihara Maha Brahma) in Pulo Geulis and Klenteng Hok Tek Bio (Vihara Dhanagun) in Suryakencana Road.

Pulo Geulis is a small island in the middle of Ciliwung river flow around Kebun Raya Bogor. Actually, Pulo Geulis is not actual island and it also not a delta of a river, but because Ciliwung river flow split into some flow and it reunite before Kebun Raya Bogor then Pulo Geulis looks like an island. While, Suryakencana is like a china town in Bogor which has been known since long time ago, it is one of the oldest road in Bogor.

How to go there?
If you want to get here, you can go to Suryakencana Road in Bogor. You can go there by Commuter Line, and get to Stasiun Bogor. After that, you can take angkot which go to Suryakencana from Stasiun Bogor. And, welcome to the Suryakencana Road, the most popular china tow in Bogor. You can visit Klenteng Pan Kho Bio first and eat culinary around Suryakencana (like soto kuning, pork food, soto bogor, laksa, kue cubit, uli bakar, etc).

If you want to go to Pulo Geulis, you can take any angkot which pass through Suryakencana road and drop in front of Indomaret Suryakencana. There no angkot or car pass Pulo Geulis, we can walk away the small roads (jalan gang kecil di sekitar pemukiman warga) and across the bridge and find the secluded Pulo Geulis. For your information, jalan menuju Pulo Geulis dari Jalan Suryakencana cukup jauh loh hiksss.

How much we must pay?
There is no any special payment to go here. Just spend your money to pay the Commuter Line ticket and charge of angkot. The total is around Rp 20.000. Bogor culinary around Suryakencana road is cheap enough, around Rp 20.000 - Rp 40.000. Ohya, in Vihara Maha Brahma, we had been sharing about Culture and History of the Vihara, because Vihara Maha Brahma is the oldest Vihara in Bogor. We got so many information about Imlek Celebration and Culture from one of the people there. There are some charity boxes placed near the stupa in the Vihara. Maybe, for the extra payment you could load your money inside the box.

What we do in Pulo Geulis?
Because it was a cultute trip, in Pulo Geulis you can learn about another culture which maybe you never heard about that before. It will increase you culture knowledge. Beside that, like I have told you before, you can get culinary along the Suryakencana road because it was well-known about the food. 

Here're some tips:
1. Prepare your feet to walk around Suryakencana road, because it's so crowded and there's no angkot there (only in one way)
2. Bring your umbrella if you want to visit there in the Chinese New Year Day. As we know, in the Chinese New Year Day, rainy will fall around the day.
3. Have fun with a new way to spend your holiday :)

Vihara Mahabrahma

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments


In Jawa Barat Travel

Paralayang di Bukit Paralayang Puncak

Terbang di atas ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut? Luar biasa!!! Pengen lagi dan lagi, beneran deh!!! Trip kali ini mencoba untuk sedikit menguji nyali dan menantang, yaitu Paralayang atau Paragliding di Puncak bersama dengan tujuh orang cewek-cewek tangguh yaitu ebi, icut, zahara, esra, icha, oliv, dan bea. Perjalanan dilakukan hari Sabtu tanggal 2 Mei 2015 diawali dengan berkumpul di Stasiun Bogor pukul 07.00 WIB.

How to go there?
Kami menyewa salah satu angkutan umum Kota Bogor untuk mengantarkan kami sampai ke tujuan, yaitu Bukit Paralayang. Jadi, karena bertepatan dengan long weekend, kawasan Puncak mengalami kemacetan lalu lintas yang sangat parah. Oleh karena hal itu tarif sewa angkot di Bogor mengalami kenaikan drastis. Pada hari normal, satu angkot jurusan Bogor sampai Puncak dapat di sewa seharga Rp 200.000,- sampai Rp 250.000,- (pulang-pergi) namun berhubung sedang high-season holiday harga sewa angkot dipatok menjadi dua kali lipat sekitar Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-. Sudah mahal, macet pula ckck, perjalanan dari Bogor menuju Puncak yang normal ditempuh hanya 1 jam saja bisa menjadi 4 jam. Lokasi Bukit Paralayang ini terletak di Kawasan agrowisata (Naringgul) Gunung Mas atau lebih dikenal dengan Bukit Gantolle. Sekitar 300 meter dari Masjid At-Ta’awun lalu tinggal belokkan setir dan pasang mata ke kanan jalan (arah Jakarta).

How much we must pay?
Tiket masuk perorangan ke kawasan tersebut sebesar Rp 13.000,- (sudah termasuk asuransi), mobil Rp 5.000,- dan motor Rp 2.000,-. Kawasan tersebut ditutup pada jam 17.00 WIB. So, sebaiknya datanglah ke sana sebelum sore hari. Rombongan kami tiba di lokasi sekitar pukul 15.00 WIB dan Puji Tuhan, cuaca cerah (tidak panas), angin stabil, tidak ngantri, dan bisa langsung terbang menghilangkan kepenatan selama di perjalanan. Sekali terbang dikenakan biaya Rp 350.000,- (include sertifikat dan asuransi) untuk orang lokal dan Rp 400.000,- untuk WNA.

Pendaftaran dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari H, dengan menghubungi kontak dari pihak Bukit Paralayang. Pendaftaran on the spot sebenarnya bisa dilakukan, namun prioritasnya tetap untuk pendaftar yang sudah booking dan DP jauh-jauh hari. DP di transfer ke rekening Pak Nixon dengan nominal Rp 50.000,- per orang. Sedangkan sisanya bisa dibayarkan langsung di bagian pendaftaran. Karena sudah mendaftar jauh-jauh hari, sesampai di sana kami langsung melakukan pelunasan, pendataan nama urutan terbang dan langsung diarahkan untuk terbang. 

What we do in Bukit Paralayang?
Tidak banyak breifing yang disampaikan oleh instruktur, hanya arahan untuk berlari dan rileks diawal-awal terbang. Sebelum terbang, badan kita dipasangkan alat pengaman dan ransel besar yang bisa juga digunakan untuk menyimpan tas kita. Semua alat pengaman dipastikan oke dan nyaman dipakai, selain itu jangan khawatir karena ada instruktur bersertifikat yang akan mendampingi kita terbang di udara selama 5-10 menit. Saran gue sih, sepersuasif mungkin kita harus melakukan pendekatan kepada instruktur pendamping biar kita di bawa terbangnya lama. Selain itu kalau kamu berani, request aja manufer-manufer atau gaya-gaya terbang yang di luar dari kebiasaan, pasti bakal jadi lebih seru hehe.

Di udara, something you must to do is taking picture. It's safe kok bawa kamera atau tongsis atau handycam di udara asal dipegang dengan erat. Selfie juga bisa loh hihi. Benar-benar amaze banget sama pemandangan di udara, keren banget, sumpah! Jarang-jarang menikmati pemandangan seperti ini dan bisa merasakan rasanya terbang melayang bak burung-burung di udara. Pretty cool! I feel like I'm literally on the top of the world, yiipiieee!!! Angkat kaki tinggi-tinggi, begitulah cara landing yang dianjurkan oleh instruktur, gak berasa tiba-tiba sudah duduk diatas tanah. Tidak ada perasaan takut atau deg-deg-an sama sekali, adanya malah ketagihan dan ingin terbang terus-menerus hehe.

Setelah landing, di lapangan landing akan ada jasa foto dari para crew, dimana satu foto dikenakan biaya Rp 30.000,- per foto dengan ukuran 8R atau Rp 5.000,- per foto untuk soft copy saja (jadi kalau mau soft copy, bring your own disk). Oh ya, untuk sertifikat terbang bisa diambil setelah terbang di meja pendaftaran atau bisa request ke pihak yang bersangkutan untuk dikirimkan via JNE.

Here're some tips:
  • Kita gak tahu kondisi angin di atas bagaimana, jadi better kalau kita stand by dari pagi hari sembari menunggu kondisi angin yang memungkinkan untuk terbang. Karena kalau datang terlalu sore, bisa jadi penerbangannya sudah tutup.
  • Pakailah baju dan celana panjang yang sekiranya nyaman digunakan (short pants is able, tapi kondisi di atas cukup dingin jadi emang better pakai celana panjang). Don't use skirt or baju ketekan haha. Dan kalau perlu ya pakai jaket, kalau emang kamu gak kuat angin.
  • BRING YOUR CAMERA! It's a must! Don't be affraid, it's safe! Sebenarnya ada juga jasa penyewaan Go Pro Camera dengan biaya sewa Rp 150.000,- jika kamu berminat.
  • Use sunblock untuk mukamu, menghindari terik matahari kalau kamu kebagian terbang pada siang hari.
  • Bring some snacks or foods and drinks. Trust me bakalan susah buat cari makan, apalagi makanan berat.
  • Berat badan minimal 45 kg dan maksimal 90 kg. So, watch out your weight!
  • Pakai sepatu sport atau sepatu yang tidak mudah lepas dari kakimu. Jangan pakai sendal yah, riskan banget jatuh soalnya.
Paralayang atau paragliding ini bisa jadi alternatif liburan kamu, if you bored with the mall or city hurly-burly. Selain tempatnya yang dekat dengan ibu kota, keseruan terbang di atas awan bisa membantumu menjernihkan kembali pikiran yang suntuk sebelumnya. So, happy paragliding! You won't regret it :)

On the top of the world
Safety first
After paragliding landing
With paragliding team of trip
(Ki-Ka: Dee, Bea, Icut, Icha, Oliv, Esra, Zahara, dan Ebi)




I believe I can fly,
Dewi Lestari Natalia.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments


In Jawa Barat Travel

Trip to Tebing Keraton, Goa Tahura, dan Bukit Moko

Di sela-sela aktivitas yang gabut tapi sibuk, one day trip adalah salah satu solusi untuk mengatasinya. Kali ini gue dan beberapa rekan mengikuti one day trip ke area Bandung, diantaranya Tebing Keraton, Goa Tahura, dan Bukit Moko. Trip kali ini gue pergi bersama Icut (teman SMA) dan teman-temannya Icut. Selain bisa refreshing dan berkunjung ke tempat baru, gue juga bisa kenalan dengan orang-orang baru di sini. Rombongan yang kenal dekat pada trip kali ini ada Arini, Sekar, Empi, Nita, dan Lisa. Nice to meet them yang ternyata worker yang hobi traveling juga. Honestly gue masih cupu banget kalau bicara tentang trip-trip ini hehe because I didn't have so much time, gak tahu kenapa tapi rasanya selalu kurang waktu senggang huft. Okey, let's see the journey of destination: 
1. Tebing Keraton
Tebing Keraton ini terletak di jalan Ir. Djuanda, Bandung. Wisata ini berada di area wisata Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda. Biaya masuk ke dalamnya seharga Rp 11.000,-  per orang. Untuk mencapai Tebing Keraton, jalan yang dilalui menanjak, sempit, dan berbatu sehingga agak sulit dilalui oleh mobil pribadi, elf, dan bus. Bahkan jika musim hujan, motor pun bisa slip atau jatuh karena jalanan yang licin. 
Alternatif lain buat yang berjiwa petualang dan gak punya malu haha, naiklah pick-up yang disetir oleh warga sekitar. Sensasinya heboh banget, seru haha. Untuk pick-up bisa dinaiki di depan Indomaret sebelum memasuki kawasan wisata Taman Hutan Raya, dengan harga Rp 30.000,- per orang untuk pulang pergi, sedangkan ojek Rp 15.000,- sekali jalan. So, kami lebih memilih bernorak-ria dengan pick-up, selain murah, seru banget serasa naik kora-kora sambil menikmati angin semliwir loh. Sesampainya di gerbang Tebing Keraton, kami harus berjalan mendaki kurang lebih 300m menuju tebing. Untung jalan menuju tebing sudah bagus dan tidak licin. So amazing sesampainya di spot paling tinggi di Tebing Keraton, how great our God, bisa menciptakan alam yang begitu indahnya.
 Ekspresinya mantap banget haha berasa amazing banget :D
(ki-ka: Arini, Dee, Nita, Icut, Lisa, Sekar)
Spot favorit di Tebing Keraton
So far sih pemandangannya bagus banget dan lingkungannya bersih. Berkali-kali di beberapa sudut jalan dipasang himbauan agar tidak membuang sampah sembarangan dan tidak merokok atau minum-minuman keras di area wisata. Senang sih, semakin ke sini, masyarakat semakin sayang dan perhatian sama lingkungan sekitarnya.
2. Goa Tahura
Dalam Taman Hutan Raya ini terdapat banyak lokasi wisata yang bisa dikunjungi. Sekali masuk, wisatawan domestik dikenai harga tiket Rp 7.500,- per orang. Bonusnya wisata di sini, selain bisa menikmati pemandangan alam yang segar dan hijau, kita juga bisa mengetahui cerita sejarah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang dahulu kala. Di sini ada dua goa yang digunakan untuk tempat persembunyian penjajah, ada Goa Jepang dan Goa Belanda. Di dalam goa sangat gelap sekali, tidak ada penerangan, namun ada bekas pemasangan lampu yang terlihat sudah rusak. Untuk jaga-jaga, baiknya kita membawa senter dari rumah sebelum wisata ke goa ini, atau untuk alternatif bisa menyewa senter seharga Rp 5.000,- per buah. Untuk penjelasan sejarah dari goa tersebut, bisa menggunakan jasa tour guide dengan membayar seharga Rp 25.000,- per guide.
Karena keterbatasan waktu, kami hanya mengunjungi Goa Jepang saja karena letak Goa Belanda yang cukup jauh harus ditempuh dengan berjalan kaki (dan kami sudah tidak sanggup lagi haha). Berdasarkan keterangan guide yang kami sewa, Goa Jepang ini panjangnya 2500m dan membentuk huruf E. Goa ini digunakan sebagai tempat istirahat dan persembunyian kompeni Jepang zaman dahulu. Menurut guide kami, goa tersebut dibuat dengan cara memahat bukit tersebut dengan tangan mereka sendiri. Gak kebayang gue gimana cara mahat bukit sepanjang 2500 m. Kalau Goa Belanda katanya lebih panjang dan lebih rumit dalamnya. Bahkan di Goa Belanda ini pernah dijadikan tempat Uji Nyali oleh salah satu stasiun TV, waw.
Pepohonan tumbuh rindang di Taman Hutan Raya
Goa Jepang
Pepohonan di Tahura
Selain Goa Jepang dan Goa Belanda, di Tahura ini juga terdapat tempat Penangkaran Rusa dan Curug Omas Maribaya. Konservasi alam seperti Tahura ini sangat penting untuk di jaga karena di sini hidup berbagai habitat dari mulai tumbuhan sampai ke hewan. Monyet-monyet liar masih banyak ditemukan bergelantungan di antara dahan pepohonan, suara jangkrik atau sejenisnya juga acap kali terdengar. Luar biasa Tuhan menciptakan alam ini untuk dinikmati keindahannya oleh manusia.
3. Bukit Moko dan Puncak Bintang
Tujuan terakhir adalah Bukit Moko dan Puncak Bintang yang berlokasi di Cimenyan, Bandung. Bukit Moko terletak pada ketinggian sekitar 1500 meter dari permukaan laut. Dari atas Bukit Moko kita bisa melihat pemandangan 180 derajat kota Bandung. Oleh sebab itu, warga Bandung menyebut Bukit Moko sebagai puncak tertinggi Kota Bandung. Selain itu, kita juga bisa menikmati pemandangan hutan pinus sambil berjalan menuju Puncak Bintang atau bisa dibilang puncak tertinggi Moko. Menurut cerita sih, kita bisa melihat sunrise dan sunshine dari Bukit Moko, tapi sayang saat itu cuaca sedang mendung sehingga matahari tidak terlihat saat akan meninggalkan tahtanya. Tapi kami tidak kecewa ketika akhirnya kami memutuskan untuk mendaki Puncak Bintang yang katanya adalah puncak tertinggi Bandung. Namun sayang, perjalanan menuju Bukit Moko dan Puncak Bintang sangat sempit dan jalannya kecil serta berbatu. Saran gue sih ke sana mending menggunakan mobil mini bus sejenis Avanza dan jangan menggunakan sedan atau mobil besar, karena cukup sulit medan perjalanannya. Untuk tiket masuknya sendiri sebesar Rp 8.000,- untuk mendaki Puncak Bintang yang dikelilingi oleh Hutan Pinus. Sedangkan untk mencapai Bukit Moko, tidak digunakan biaya kecuali biaya parkir kendaraan.
View pemandangan Kota Bandung 180 derajat dari Bukit Moko
 
Selfie sembari menunggu sunset yang tak datang
 
Selfie di perjalanan menuju Puncak Bintang
Bintang besar sebagai lambang Puncak Bintang
Puncak Bintang
Puncak Bintang
Perjalanan diakhiri dengan pemandangan malam Kota Bandung dari Puncak Bintang Bukit Moko yang di guyur hujan rintik-rintik. Puas banget di trip kali ini, bisa menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan yang kembali menyadarkan gue, betapa kecilnya manusia dibandingkan dengan kuasa Tuhan. Tapi seringkali secara tidak sadar kita menyombongkan diri dan merasa paling besar. Tetiba jadi ingat lagu sekolah minggu dulu yang judulnya "Surya Bersinar" dan "Biarpun Gunung-Gunung Beranjak". Luar biasa.

Anyway, ini pertama kalinya gue ikut trip bareng-bareng teman baru. Biasanya trip sama teman-teman sendiri dan semuanya di atur sendiri. Ternyata enak juga ikut trip instan gini, selain menghemat tenaga untuk ngumpulin orang-orang yang kesibukannya beda-beda, bisa kenalan sama teman baru juga (bahkan Sekar sama Empi jadian gara-gara ikut trip gini loh hihi), dan gak usah repot-repot nyiapin segala denah, makan, tiket, dll tinggal terima beres aja hehe. Tapi yah mungkin harganya lebih mahal dibandingkan dengan trip yang direncanakan sendiri. Next trip, tunggu ceritanya yah :)




Penikmat hobi baru,
Dewi Lestari Natalia.

Read More

Share Tweet Pin It +1

9 Comments


In Jawa Barat Travel

Trip to Ujung Genteng Beach


Sedikit berbagi pengalaman liburan nih, tepatnya liburan ke Pantai Ujung Genteng pada tanggal 6-7 Agustus 2013 yang lalu. Saya bersama 9 orang lainnya, yaitu kakak-kakak dan abang-abang saya di naposo maranatha (Kak Echa, Kak Oktha, Kak Rani, Bang Porman, Bang Bobby, Bang Ferdinan, Bang Boyke, Bang Thurman, dan Bang Dona) melakukan perjalanan liburan ke Pantai Ujung Genteng. Rencana ini hanya direncanakan beberapa hari sebelum hari H dengan tujuan awal ingin naik gunung namun H-1 berubah jadi ke pantai. Bermodalkan nekat dan GPS di tangan, kami pun akhirnya melakukan perjalanan ini.

(ki-ka) Bang Dona, Bang Porman, Kak Oktha, Saya, Kak Rani, Kak Echa, Bang Boyke, Bang Ferdinan, Bang Bobby 
- taken by Bang Thurman

Perjalanan dimulai sekitar pukul 15.00 WIB dan tiba di Ujung Genteng sekitar pukul 23.45 WIB. Menurut informasi yang kami dapat perjalanan menuju Ujung Genteng bisa memakan waktu kurang lebih 7-8 jam. Kesalahan kami adalah kami nyasar sampai ke daerah Pelabuhan Ratu, hal ini dikarenakan daerah yang kami lalui berupa hutan dan bukit serta jurang yang sulit mendapatkan sinyal, dan mengakibatkan GPS kami mati. Perjalanan menuju Ujung Genteng pada malam hari sangatlah menyeramkan, gelap sekali karena tidak adanya lampu jalan, kanan kiri adalah hutan pepohonan dan jurang, sangat jarang sekali ditemui pemukiman warga, selain itu jalannya juga kurang bagus, berbatu dan berlubang. Satu lagi, di daerah ini sangat sulit sekali ditemui pom bensin, jadi alangkah baiknya untuk mengisi bensin full sebelum memasuki kawasan menuju Ujung Genteng. Selain itu, orang-orang disini sangat kental sekali logat sundanya. Pengalaman kami selama bertanya ke warga mengenai arah jalan, warga akan jutek menjawab jika kita bertanya dengan logat jakarta, tapi jika kita bertanya dengan logat sunda, warga disini akan menjawab dengan ramah.

Setelah melewati daerah  Surade, artinya tinggal beberapa menit lagi tiba di Ujung Genteng. Jalannya benar-benar gelap dan berkelok-kelok, jalannya pun banyak lubangnya, tak ayal jika ada orang menyebrang maka akan sangat susah melihatnya. Untunglah supir kami, yaitu Bang Porman, Bang Bobby, dan Bang Boyke adalah supir yang handal sehingga kami bisa melalui perjalanan dengan lancar. Saat tiba di daerah Ujung Genteng kami segera berencana mencari homestay untuk bisa ditinggali semalam, setidaknya untuk tempat kami tidur. Selama perjalanan mencari homestay, tibalah kami di daerah tepi laut tempat para nelayan. Disini jalannya sangat sangat jelek, berpasir, dan berbatu. Di pinggir jalan banyak ditemukan warung remang-remang dan 'para wanita' malam. Saat akan bertanya jalan ke mereka, Bang Bobby turun dan langsung seperti mau ditawar haha, ketika Kak Rani ikut turun, wanita-wanita tersebut kecewa dan berkata 'yah, ada ceweknya' hahaha. Saat berhenti untuk bertanya, ada kejadian janggal yang dilihat oleh Bang Porman diikuti dengan Bang Bobby dan Bang Boyke, dan sampai sekarang mereka belom mau cerita huhuuu.

Akhirnya kami menemukan homestay yang saat itu ramai. Jujur sebenernya agak was-was sama daerah ini, karena baca-baca berita di internet, daerah ini banyak aneh-anehnya. Makanya seneng banget ketika ketemu homestay yang ramai, namanya Pondok Adi. Baru kali ini loh ada homestay yang ditawar, awalnya si pemilik buka harga 400ribu untuk semalam sampai dengan jam 12 siang, setelah kompromi dn tawar-menawar akhirnya dapatlah homestay dengan harga 250ribu sampai jam 12 siang, lengkap dengan alat dapur seperti kompor gas, piring, sendok, garpu, panci, penggorengan, ceret air, dan tempat bakar-bakaran. Homestay ini lumayanlah, kamar tidurnya ada dua dengan masing-masing 2 single bed, kamar mandinya bersih, dan ada dapur mininya. Berdasarkan searching di internet harga homestay disini masih murah, sekitar 200-500 ribu per malamnya. Tepat di depan Pondok Adi, adalah pesisir pantai yang banyak nelayannya. Uniknya pantai disini adalah karangnya. Biasanya pantai itu identik dengan pasir yang halus dan lembut, tapi di pantai ini gak ada pasirnya, yang ada hanyalah batu-batuan karang kecil-kecil jadi agak sakit kena kaki kita.

Wisma Adi
Malam itu, kami langsung makan-makan sambil pork barbecue yang di masak oleh master chef Dinan. Kenyang makan, para cewek-cewek langsung tidur sejenak dan kemudian segera bangun untuk melanjutkan destinasi selanjutnya ke penangkaran penyu di Pantai Pangumbahan. Perjalanan bisa dibilang cukup horor, karena kami berangkat pukul 4 pagi, melalui jalan setapat berbatu besar dan terdapat juga beberapa alur yang melewati hutan, gelap, dan sangat sepi. Kenapa harus sepagi ini? karena menurut kabar yang kami dapat, jika kami beruntung maka kami dapat melihat secara langsung proses penyu bertelur (namun sayangnya saat itu kami belum beruntung, sebab biasanya penyu bertelur pada saat bulan purnama dan saat itu bukan bulan purnama, menurut bapat penjaganya). Berhubung kondisinya pagi-pagi buta dan warga belum ada yang bangun, serta kondisi jalan yang sangat sepi, kami tidak tau ada apa di kanan kiri mobil kami. Beberapa kali ada pemuda warga sekitar yang menawarkan bantuan untuk menunjukan arah kepada kami, tentu dengan bayaran nominal tertentu. Namun, kami memustuskan untuk terus jalan berbekal dengan arahan warga sekitar saat kami bertanya. Semua kehororan itu tapi berbuah sangat manis, sekitar pukul 5 pagi, kami sampai di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan tempat penangkaran penyu. Di sana kami melihat beberapa ekor penyu yang dipelihara dan banyak sekali tukik (sebutan untuk anak penyu yang baru lahir). Lucu sekali melihat tukik-tukik kecil bergerak ke sana kemari di dalam tempat penangkaran. Lalu kami diajak ke pesisir Pantai Pangumbahan berpasir putih dan halus, disinilah penyu biasa naik ke daratan untuk bertelur dan kemudian telurnya dibudidayakan dalam penangkaran. Saat itu pantai sedang pasang sehingga ombak bergulung sangat tinggi sekali. Satu peringatan saat kami bermain ke pantai tersebut adalah dilarang mandi, entah apa alasannya. Tidak ada orang lain di pantai tersebut, hanya rombongan kami saja, benar-benar berasa seperti private beach yang sangat indah. Pukul 07.00 kami segera kembali ke homestay dan barulah kami menyadari bahwa jalan yang kami lalui saat pergi benar-benar menawarkan pemandangan desa yang indah, walaupun jalan yang kami lalui sangat rusak dan banyak lubangnya. Ada beberapa petak sawah dan terdengar desiran ombak dari pesisir pantai yang kami tidak tahu pantai apa namanya. Ketakutan dan kegelisahan kami selama perjalanan pergi terbayar semua dengan pemandangan yang sangat menawan.

Pork Barbecue
Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan  (Pangumbahan Penyu Park)
Sampai di homestay, kami segera berkemas untuk melakukan perjalanan selanjutnya yaitu menuju Pantai Amanda Ratu yang terkenal dengan sebutan 'Tanah Lot mini Pulau Jawa'. Sebelumnya kami singgah sebentar di Pantai Cibuaya dekat homestay dimana pasirnya dipenuhi oleh karang kecil-kecil. Warna pantainya sangat indah biru kehijauan dan sangat jernih. Ombaknya yang tinggu cocok untuk surfing, tidak banyak orang di pantai ini dan itulah yang menambah keindahannya. Pantainya masih 'perawan' dan sangat bersih. Setelah puas mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan menuju Amanda Ratu. Amanda Ratu langsung memukau kami ketika kami tiba di sana. Tanah Lot Bali versi mini dapat kita lihat di sana. Di pinggiran Amanda Ratu terdapat resort dengan fasilitas yang serba mewah yang pasti dengan harga sangat tinggi. Untuk traveler seperti kami, tentulah ini tidak masuk dalam pilihan karena harganya yang terlalu mahal. Banyak wisatawan asing berkeliaran dan berfoto di sini. Tidak heran karena pemandangan elok yang ditawarkan benar-benar indah dan menawan. Untuk berkunjung ke sini, kita tidak perlu menginap di resort sekitar. Traveler yang tidak menginap di sini pun boleh berkunjung dengan bebas dan gratis, hanya membayar Rp 2.000,- saja untuk uang parkir. Kita bisa berfoto dengan view yang indah di atas batu karang yang besar, hati-hati terjatuh atau tergelincir karena track-nya sangat licin. Selanjutnya perjalanan menuju Curug Cikaso, yang katanya adalah air terjun terbagus di Ujung Genteng.

Pantai Cibuaya
Amanda Ratu
Perjalanan menuju Curug Cikaso berlangsung nyaman karena jalan sangat sepi (berhubung hari itu adalah H-1 lebaran), sudah tidak berbatu lagi, dan yang paling penting sudah terang tidak gelap gulita seperti perjalanan malam sebelumnya. Setibanya di pintu masuk Curug Cikaso, kami agak kecewa dengan banyaknya pungutan-pungutan uang yang ditagih oleh warga sekitar (padahal menurut info yang kami dapat, sekitar tahun lalu tidak ada pungutan apapun, alias gratis). Pungutan pertama adalah biaya tiket masuk sebesar Rp 7.000,- per orang. Bukannya menghina atau merendahkan tapi sepertinya orang yang menarik pungutan kurang pintar berhitung dan tidak peduli asalkan dia dapat uang, kami 10 orang harusnya membayar sebesar Rp 70.000,- plus tarif 2 mobil (saya lupa berapa), namun orang itu mengembalikan kembalian lebih. Saat kami protes, mukanya bingung dan malah langsung pergi meninggalkan kami, entah apa maksudnya. Tidak hanya itu, beberapa meter dari pintu masuk, kami dikagetkan dengan dengan tulisan "Satu kali buka portal Rp 1.000,-" ckck sampai segitunya. Belum lagi kami harus membayar kapal untuk menyebrang menuju curug sebesar Rp 60.000,- per kapal. Benar-benar mengecewakan, belum lagi biaya parkir mobil dan biaya kamar mandi ckckck. Tapi untuk pemandangan dan kepuasan selama kami di Curug Cikaso sangat tidak mengecewakan, terdapat dua buah air terjun yang sangat indah, kita bisa berenang di bawah air terjun itu. Tetapi harus sangat hati-hati saat berenang, sebab di dasar curug terdapat banyak sekali batu dengan ketinggian yang berbeda-beda. Satu hal yang paling asik adalah ketika kami sampai tepat di bawah air terjun, kami duduk di atas batu dan merasakan punggung kejatuhan air terjun seperti layaknya sedang di pijat. Sayangnya kami harus segera cepat berangkat sebelum matahari tenggelam untuk mengejar waktu sampai ke rumah masing-masing.

Puas dengan beragam pemandangan dan pengalaman di Ujung Genteng, kami pun segera melanjutkan perjalanan kembali ke rumah masing-masing. Perjalanan pulang terasa lebih cepat dan nyaman karena kami sudah hafal track-nya dan tidak kesasar lagi. Hanya saja kami sempat terjebak macet di belakang rombongan warga yang sedang takbiran. Selebihnya perjalanan pulang berlangsung lancar. Sekitar pukul 01.00 pagi, saya tiba di rumah dan very excited dengan liburan saya kali ini. Mendadak, singkat, murah, dan menyenangkan. Sampai jumpa di cerita liburan selanjutnya :D

Curug Cikaso
Full Team :)

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments